Tuesday, February 28, 2012

Garuda Tanpa Sayap



"Jika orang bermimpi dianggap parodi, maka habislah masa depan sepak bola kita"


Cukup terhenyak rasanya ketika timnas baru-baru ini mengalami kekalahan dan saya membaca komentar seseorang dengan lantang mengatakan, "mamppoooossss!!!" Saat membaca itu saya seketika bingung - TOTAL! Bagaimana mungkin seorang yang mengaku suporter merah-putih mengatakan hal yang demikian menyakitkan (bagi pemain jika tertiup hingga ke daun telinga mereka)? Bagaimana mungkin rasa sentimen terhadap politik sepak bola harus berimbas kepada anak-anak yang telah bermain setengah mati selama 90 menit dengan mengemban lambang Garuda di dada, terlepas dari hasil buruk yang mereka raih? Kasus suporter Inggris menghujat timnas-nya ketika tim mereka terus menerus didera kekalahan nyaris sama dengan kasus ini. Tetapi bedanya, mereka melemparkan hujatan karena geram tim pujaan mereka kalah, bukan malah MENSYUKURI kekalahan tim-nya. Dua hal yang jelas berbeda.

Ngenesnya, kata-kata "mampus" itu entah bagaimana memang terbaca oleh seseorang pemain lain (yang saat itu tidak berada di lapangan) yang kemudian emosinya meluap dan mengeluarkan kata-kata bermaksud pembelaan yang tidak kalah parau, "suruh aja mereka yang main di lapangan!!!". Kata-kata bernada emosional ini jelas tidak baik diucapkan, namun kemudian terlontar begitu saja bersamaan dengan semangat yang kemudian menurun drastis untuk membela bangsa.

Seperti jutaan kali saya katakan, terlepas dari dualisme liga yang melarang pemain dari liga yang tidak diakui FIFA untuk bermain bagi timnas, siapapun yang menggunakan seragam berlambang Garuda adalah personil yang namanya pantas kalian teriakkan lantang di dalam stadion. Mengapa? Karena jerit suporter adalah cambukan semangat bagi mereka. Karena kepercayaan diri mereka meningkat berkat dukungan. Karena usaha mereka akan berlipat ganda berkat gemuruh di stadion. Memang kita belum meraih trophy bergengsi meski GBK belakangan sering penuh, namun saya optimis akan ada era kebangkitan jika kita memulai memompa semangat pemain muda dari sejak dini. Jelas untuk itu, optimisme suporter yang biasanya berbaris di belakang mereka menjadi harga mati. Sayang bukan itu yang sekarang sedang terjadi.

Ada yang mengatakan, "saya tidak dukung karena pemainnya bukan dari ISL, di sana kan ladang pemain bagus?!" Kata-kata seperti ini adalah murni ungkapan jujur pecinta sepak bola nasional. Tidak bisa ditentang karena itu merupakan buah pemikiran pribadi. Saya pribadi suka menyaksikan gaya bermain banyak pemain di sana. Tapi apa lantas saya harus mogok membela timnas dengan materi-materi baru? NO. Dari dulu pun saya sudah menyaksikan pertandingan timnas meski dipimpin oleh musuh bersama saat itu, Nurdin Halid dan tidak lantas memusuhi timnas meski saat-saat itu kondisi politik sepak bola juga kacau. Eksperimen usia dini harus terus dilakukan untuk menemukan tim masa depan yang tangguh. Sayangnya sayap para pemain muda ini susah mengepak lebar menuju angkasa akibat masih belajar terbang, sudah harus dilukai massa.


Lalu kemudian ada yang meneriakkan bahwa pemain ISL merupakan korban politik. Jujur, saya cukup sependapat dengan hal itu. Tapi, pfffttt.... Tahukah kalian bahwa yang benar-benar menjadi korban politik terparah saat ini justru seluruh pemain yang tengah berjuang atas nama timnas?

Ketika daun-daun muda ini mendengar adanya seleksi, nyaris seluruh pemain datang dengan semangat 45 menuju lokasi seleksi. Dengan harapan tinggi dan semangat membuncah, mereka menjalani beberapa kali sesi latih tanding untuk unjuk kemampuan. Meski seleksi harus dengan fasilitas susah-payah terlebih dahulu, mereka enggan mengeluh demi impian memasuki skuat tim nasional.

Tahukah kalian, bahkan ada yang nekad sakit-sakit datang menuju lokasi latihan selagi ada panggilan? Ada yang memaksakan diri datang dengan ongkos seadanya? Ada yang takut menaiki pesawat namun memberanikan diri demi timnas? Ada yang bahkan meski belum mendapat persetujuan atasan sudah berangkat dengan biaya sendiri? Ada yang bahkan hingga lupa bawa koper? Kenapa? Jarang ada kesempatan bagi mereka untuk bisa terpilih masuk seleksi timnas. Selagi pintu itu terbuka lebar, usaha hidup-mati pun mereka lakukan. Wajah-wajah polos anak kecil yang menyimpan tekad untuk mengharumkan nama bangsa ini.... wajah-wajah yang masih menyimpan optimisme dengan mata berbinar ini.... wajah penuh impian itu berubah menjadi haru biru ketika nama mereka disebut memasuki timnas. Modal impian membuat tubuh mereka bergetar ketika disodorkan seragam kebanggan timnas, merah-putih. Sayang, anak-anak tidak bersalah ini ternyata berangkat minus suara dukungan banyak suporter (tidak semua namun cukup banyak). Ternyata yang mengaku suporter garis keras pun bisa melontarkan kata-kata mogok bahkan menghujat anak-anak ini. Sangat menyedihkan.

Ketika kondisi sudah seperti ini, maka... bung, kondisi sepak bola kita sudah jauh dari kronis. Sepak bola itu sendiri sudah mati karena terlalu rusak dari lapisan atas hingga bawah. Jika impian sudah tidak ada atau orang bermimpi dianggap parodi, maka habislah masa depan sepak bola kita.
Anda boleh memprotes masalah pemilihan materi pemain timnas, TETAPI bukan lantas berujung mogok sama sekali membela timnas terpilih. Mereka tidak bersalah sama sekali. Berikan kritik pada jalurnya, namun bukan menebas semangat skuat yang bermain di lapangan atas nama negara, kalah ataupun menang. Tidak perlu terbawa arus politik. Jika Anda membenci peraturan yang baru, jangan menampar orang yang menjalani aturan baru itu.

Biarkan bibit-bibit muda menegakkan kepala. Berikan jalan bagi mereka untuk menempa pengalaman bertanding. Berikan kesempatan bagi mereka untuk menyimpan binar di mata sebagai pengemban lambang Garuda. Mengenai problema politik yang melumpuhkan semangat terhadap sepak bola nasional sendiri, jangan lampiaskan kepada skuat muda ini. Mereka bisa saja menjadi pahlawan lapangan hijau di masa mendatang, datang dari lumpur politik. Sejenak, sampingkan permasalahan politik yang menyebalkan, mari mengangkat segelas kopi hitam, ikat tali sepatu Anda, gunakan atribut merah-putih loakan Anda, coretlah wajah dengan lambang bendera merah-putih, berangkat, dan berteriaklah selantang mungkin untuk membangkitkan impian kita dari awal sekali lagi. Suatu saat, toh permasalahan politik ini akan berakhir. Suatu saat, toh semua pemain berhak mendapat tempat di timnas. Suatu saat, toh kita akan mengangkat trofi juara. Hanya tinggal menunggu sang waktu... Seperti ucapan Henry Miller, "Back of every creation, supporting it like an arch, is faith. Enthusiasm is nothing: it comes and goes. But if one believes, then miracles occur". Cheers! :D


~DC~